Rabu, 08 Februari 2012

Aku lah jawaban dari semua doa mu...

Yap ini lah cerpen nya! Sudah jadiiiiii. Selamat membaca guys!

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dan aku pun mempercepat langkah nya. Saat itu salju mulai turun dengan perlahan, karena di Paris sedang mengalami musim dingin. Butiran-butiran salju itu pun menutupi warna hijau dari pohon-pohon yang terdapat di samping kanan kiri jalan, warna putih sangat mencolok jalanan St.Anne sore itu. Dengan mengencangkan topi yang semakin ingin terlepas dari kepala, karena terkena hembusan angin yang cukup kencang, lalu memasukkan tangan kedalam saku mantel bulu yang saat itu digunakan oleh ku. Dengan memainkan mulut yang mengeluarkan asap, aku berharap agar tidak lama lagi akan sampai di apartemen nya yang masih harus menempuh jarak sekitar 10 menit dengan berjalan. Namun cuaca semakin membuat badan aku kaku, aku pun memutuskan untuk mampir ke kedai kopi yang berada di kiri jalan. Begitu sampai di dalam kedai kopi itu, aku merasa lebih hangat daripada berada di jalanan tadi. Aku pun segera duduk di kursi yang hanya untuk dua orang, dan pelayan pun menghampiri nya dengan membawa buku menu. Aku langsung memesan oreo n cookies cappuccino blast medium. Selagi menunggu aku mengeluarkan buku novel nya yang belum selesai dibaca. Kurang dari 10 menit datanglah pesanan ku. Langsung di minum oleh ku kopi favorit itu dengan perlahan. Rasanya yang bisa membuat diriku tenang, itulah kenikmatan dari kopi ini. Sesekali aku kembali sibuk membaca novel dan menyeruput kopi itu. Tak berapa lama, ada seorang pria berwajah oriental masuk ke kedai kopi itu. Wajahnya tampan, cara berpakaian nya menarik, tinggi badan sangat ideal untuk ukuran seorang pria Indonesia. Pria itu menoleh ke arah ku, refleks aku langsung mengalihkan pandangan kea rah lukisan Monalissa itu. Dia berjalan ke arah ku. “Sial” gerutu ku dalam hati. Pria itu berhenti tepat di depan meja ku. Sontak aku menengadahkan kepala keatas, tepat kearah mata pria itu. Dengan senyum yang tersungging di wajahnya, aku membalas senyuman itu.

“May I sit here? Are you Indonesian?” ujar nya.
Karena tidak enak untuk menolak permintaan nya aku pun mengangguk
“Yes, I’m Indonesian.” ujar ku.
Tidak banyak bertanya lagi, aku kembali menyeruput kopi yang mulai mendingin. Setelah kira-kira 10 menit, tidak ada perbincangan yang terjadi. Hanya keheningan dan suara orang-orang yang sedang membicarakan seputar pekerjaan mereka, dan banyak lagi. Aku tidak mengenal dia, dia pun mungkin tidak mengenalku. Sesekali aku melihat wajahnya. “Cukup tampan” dalam hati ku berkata. Dan pada akhirnya, dia tersadar karena sedari tadi aku memperhatikan nya dia menatapku. Dan berbicara,
“Ada yang salah dengan wajah saya?”
Dengan tergagap seperti orang yang kepergok, aku langsung menggaruk kepala dan menggeleng yang maksudnya tidak ada yang salah dengan wajahnya. Lalu dia pun tersenyum. Dari situ lah, dia bercerita tentang dirinya. Dia sudah lama tinggal di Paris sekitar 6 tahun. Dia sedang menjalani sebuah bisnis bersama rekannya yang sama-sama orang Indonesia. Aku mendengarkan dia bercerita dengan sungguh-sungguh. Aku berfikir untuk tidak bercerita tentang diriku. Namun dia bertanya. Dan terpaksalah aku menceritakan tentang siapa aku. Aku berbicara sesuai fakta, namun tidak detail. Aku hanya lah orang Indonesia, yang sedang melanjutkan pendidikan di Paris. Dengan bermodalkan beasiswa dari perguruan tinggi yang dulu menjadi tempatku menimba ilmu saat masih di Indonesia. Baru sekitar 3 tahun aku berada dan menikmati keindahan sekaligus belajar tentang Paris. Aku pun tersadar, bahwa jam sudah menunjukkan pukul 6.10. Aku berpamitan dengan Axel, ya Axel namanya. Dengan senyum dan kata “See you later” aku pergi dari kedai kopi itu. Dan melanjutkan perjalanan menuju apartemen. Udara di luar amat dingin, menusuk hingga tulang ku linu. Tersadar, ada lampu mobil dari arah belakang yang mengarah kepadaku. Aku menepi agar mobil itu lewat. Namun yang ada, mobil itu berhenti tepat di sebelah ku. Kaca jendala bagian kemudi terbuka. Dan ada sosok Axel disana. Dia menawarkan agar membolehkan dia untuk mengantarku pulang. Karena cuaca yang semakin dingin aku pun mengangguk dan masuk ke mobil nya. Lantunan lagu Canon in D menghanyutkan ke dalam suasana yang romantis. Aku berbicara hanya untuk member tahu kemana arah menuju apartemen ku. 5 menit sampailah aku dan Axel di depan apartemen ku. Aku turun dari mobil itu, dan mengucapkan
“Merci Axel” yang arti dalam bahasa Indonesia adalah terima kasih.
Je vous remercie aussi pour ce jour “ ujarnya, dan kembali ke dalam mobil.
Sama-sama, terima kasih untuk hari ini. Ucap Axel tadi jika dalam bahasa Indonesia. Aku pun masuk ke dalam apartemen dan bergegas untuk mandi dan tidur.
Tak terasa, 4 bulan sudah aku mengenal Axel. Dan begitu pula dengan Axel. Kita sudah amat dekat, bisa dikatakan kita ini sahabat. Pertemuan kita hampir setiap hari. Ketika aku pulang dari kampus, atau Axel pulang dari kantor. Selalu ada bahan obrolan walaupun hamper tiap hari kita bertemu. Tak pernah bosan mukanya. Rasa kagum itu pun muncul. Rasa kagum akan sosok nya yang pekerja keras, dan tak pernah berhenti untuk bekerja. Hal itu lah yang membuat ku semangat untuk menjalani kehidupan. Aku pun teringat, dia pernah mengatakan “Nanti saat tanggal 13 Juni kamu datang ya ke kedai kopi tempat pertama kali kita bertemu. Pukul 5 sore. Aku tunggu.” Itu artinya hari ini. Ya, hari ini adalah tanggal 13 Juni jam 5 kurang 15. Aku berjalan keluar apartemen dan menuju ke kedai kopi itu. Saat ini bukan lagi musim dingin, melainkan musim panas. Sesampainya di kedai kopi aku duduk di tempat biasa. Tempat yang sama ketika aku bertemu dengan Axel. Aku melihat sosok Axel sudah duduk manis di bangku itu.
“Maaf terlambat. Aku hampir lupa. Maaf ya, Xel” ujarku.
“Tidak apa, Jani… Duduk lah” Ucap Axel dengan muka hangat nya.
Aku pun mengikuti perintah nya, dan aku terkaget sudah ada menu kopi favorit ku di atas meja itu. Tak berfikir lama, aku menyeruput kopi itu. Karena aku sempat berlari dari apartemen, dan membuat kerongkongan ku haus. Ada senyum Axel di muka nya melihatku yang kehausan. Aku pun berhenti menyeruput kopi itu.
“Kamu ada perlu apa mengundangku kesini?” tanya ku kepada Axel.
“Aku ingin mengucapkan sesuatu yang sangat penting bagiku dan juga untuk kamu Jani…”
“Apa itu?”
“Apa kamu sudah mengenalku Jani?” tanya Axel dengan mimik muka yang serius.
Aku mengangguk.
“Yakin?” ucap Axel meyakinkan aku.
“Iya, ada apa? Cepat katakan…” sergah ku.
“Apa kamu yakin kepada ku?” tanya nya lagi.
“Yakin? Iya, aku yakin. Kamu orang yang baik. Apa lagi yang membuat ku tidak yakin kepadamu?” tanya ku balik.
“Jadi, kamu juga yakin kalo aku jodohmu?”
Aku terdiam. Tak bisa mengatakan “Iya” ataupun “Tidak”
“Jani?”
Aku masih terdiam.
“Jani? Are you okay?”
“Hah? Sorry sorry, tadi kamu bilang apa?” jawab ku.
“Apa kamu siap untuk aku jadikan pasangan hidupku? Untuk selamanya.” Axel menatap ku.
“Apakah kamu bercanda?”
“I’m serious Jan” Muka nya semakin serius.
Aku terdiam. Tak sadar, bahwa sekarang Axel sudah berlutut kepadaku dengan sekotak cincin dan sebuket bunga yang ada di tangannya.
“Kembali duduk Axel jangan seperti itu…”
Axel memegang tangan ku kencang. Sangat kencang. Masih dalam keadaan berlutut.
“Kamu bersedia kan, Jan? Aku serius. Hati aku yakin kalo kamu itu jodoh aku. Aku tidak pernah bercanda untuk hal seperti ini. Jika kamu terima aku, tolong ambil cincin ini dan bunga nya. Jika kamu menolak, katakan kamu belum siap menerima aku.”
Tatapannya membuat aku tidak bisa berkata apa-apa. Memenjamkan mata untuk beberapa saat dan menarik nafas dalam-dalam, aku pun berkata
“Axel, selama di pertemuan kita selama ini. Aku sangat kagum atas kerja kerasmu. Aku yakin dan aku tau kalau kamu adalah orang yang baik. Orang yang sangat baik. Aku pernah bermimpi kalau aku bisa menjadi pasangan mu. Untuk selamanya. Tapi kadang aku seuka berfikir aku tidak pantas untukmu. Dan sekarang, kamu melamar aku. Aku tidak bisa menolak bahwa aku….”
Aku langsung memeluk nya, erat. Sangat erat. Aku merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Ini mimpiku. Ini keinginanku. Ini lah realita bahwa memang dia jodohku. Aku melepaskan pelukan itu. Dan mengajak Axel berdiri, aku menatap nya
“Aku bersedia Axel Giraldi” ucapku mantap.
Aku mengambil kotak cincin itu dan bunga nya dan meletakkan di atas meja. Dan Axel menggenggam tanganku, dan mencium tanganku. Seluruh pengunjung di kedai itu bersorak gembira. Seperti ada perlombaan bola tim mereka, dan berhasil menang. Semua bertepuk tangan. Seolah-olah mereka semua merasakan kebahagiaan yang aku rasakan saat itu. Aku bahagia. Aku terharu.
Sampai saatnya tiba, di bulan September kita pergi ke Indonesia. Dan bertemu ke keluarga aku, aku membawa Axel dan memperkenalkan bahwa dia lah tunangan aku. Dan mereka setuju. Keluarga Axel pun setuju. Kita melangsungkan pernikahan yang cukup meriah. Dan beginilah kehidupan kita sekarang, kembali ke Paris dan menjalani semua nya dengan lembaran baru. Aku bahagia. Dan berharap, aku bahagia untuk selamanya.

diahnury

Tidak ada komentar:

Posting Komentar